Isu-isu Advertising Modern

Didalam perkembangannya, dunia perilklanan semakin komplek dan menimbulkan isu-isu baru. Berikut ini adalah isu-isu yang muncul dalam periklanan kontemporer.
Isu-isu Advertising Modern

PENGGUNAAN PESAN SUBLIMINAL DALAM IKLAN
Dalam menghasilkan iklan yang efektif, banyak strategi persuasi yang digunakan agar dapat meraih simpati dan perhatian konsumen. Salah satunya strategi periklanan yang sangat popular digunakan oleh agensi periklanan baik di Eropa maupun di Indonesia sendiri adalah iklan subliminal atau subliminal advertising. Teknik ini memanfaatkan alam bawah sadar konsumen dalam upaya pembentukan sebuah persepsi subliminal dalam benak konsumen tersebut. Persepsi subliminal terjadi ketika stimulus disajikan di bawah batas ambang kesadaran untuk mempengaruhi pikiran, perasaan, atau tindakan atau sering disebut sebagai rangsangan tanpa disadari. Stimulus yang berasal dari iklan, baik secara visual, audio, maupun visual audio, diserap dan diproses secara tidak sadar menembus benak konsumen tanpa rintangan dari SuperEgo sehingga akan mempengaruhi perilaku konsumen. Iklan subliminal digadang-gadang mampu mempengaruhi perilaku konsumen tanpa konsumen menyadari. Walaupun strategi ini masih menjadi polemik karena masih diragukan keefektifannya dan memicu kontroversi mengenai etis tidaknya penggunaan pendekatan ini karena masih dianggap ilegal di beberapa negara, namun sampai saat ini masih terus digunakan. Saking kuatnya teknik ini, membuat subliminal marketing dibenci sekaligus dicintai.

Bagi sebagian praktisi atau marketer yang meyakini subliminal marketing sebagai teknik yang ampuh dalam mempengaruhi pola pikir konsumen beranggapan, apabila pesan dimasukkan cukup dalam di alam bawah sadar, maka pesan tersebut mampu mengubah perilaku dari konsumen. Khawatir akan dampak negatif dari subliminal marketing, beberapa negara di dunia melarang pemasangan pesan subliminal ke dalam sebuah iklan. Namun, apakah benar pesan yang hanya muncul sekilas, memiliki kekuatan yang dahsyat dalam mempengaruhi konsumen?
Secara umum Subliminal marketing adalah teknik pemasaran dengan memasukkan pesanpesan yang diselipkan pada sebuah obyek yang bertujuan untuk mempengaruhi konsumen. Teknik pemasaran ini pertama kali dipopulerkan oleh peneliti asal Amerika Serikat, James Vicary. Pada tahun 1957, James melakukan penelitian di bioskop dengan menampilkan iklan Coca-Cola dan popcorn yang ditayangkan secara berulang-ulang dengan durasi 0,03 detik. Iklan tersebut berisi ajakan untuk ‘makan popcorn’ dan ‘minum Coca-Cola’. Dalam penelitian tersebut, James mengklaim adanya peningkatan pendapatan popcorn sebesar 57,5% dan peningkatan pendapatan Coca-Cola sebesar 18,1% dari 45.699 orang yang melihat iklan subliminal tersebut. Ketika ditantang untuk dibuktikan melalui percobaan kedua, James gagal membuktikannya. Kemudian pada tahun 1962, James memohon maaf dan menyesal atas kebohongan penelitian yang dibuatnya di sebuah acara televisi. Walaupun terbukti penelitian yang dilakukan oleh James merupakan kebohongan, keampuhan teknik subliminal marketing tetap diyakini oleh sebagian besar marketer.

Ada penelitian menarik yang dilakukan oleh Profesor Gavan Fitzsimons dari Duke University. Fitzsimons menyatakan, setiap harinya warga Amerika terpapar oleh 3.000 merek, baik secara langsung melalui iklan maupun tidak langsung. Namun, apakah paparan merek tersebut mempengaruhi pemikiran konsumen?

Fitzsimons melakukan penelitian dengan membagi dua kelompok untuk melihat boks secara acak yang muncul dari arah yang berbeda di layar komputer. Setiap subyek penelitian harus menyebutkan darimana asal boks itu muncul, entah dari atas, bawah, kiri, atau kanan. Di waktu yang bersamaan, subyek juga diminta memperhatikan angka-angka yang muncul di tengah layar. Tanpa disadari oleh subyek penelitian, Fitzsimons menyelipkan logo Apple dan IBM (setiap subyek hanya terpapar oleh satu logo) berdurasi 0,03 detik; yang mustahil untuk diproses otak secara sadar, namun cukup lambat untuk dideteksi oleh mata. Dengan kata lain, merek tersebut diselipkan secara subliminal. Kemudian, Fitzsimons melakukan tes kreativitas kepada dua subyek tersebut. Hasilnya, subyek yang secara subliminal terpapar oleh logo Apple menjawab 30-35% lebih kreatif daripada subyek yang terpapar oleh logo IBM. Fitzsimons beranggapan, hasil penelitian ini dipengaruhi oleh merek Apple yang dipersepsikan sebagai merek yang kreatif sehingga memotivasi subyek secara tidak sadar berpikir ‘out of the box’. Untuk meningkatkan validitas penelitian, Fitzsimons melakukan uji yang sama, namun dengan menggunakan logo Disney dan E! Cable Network. Selanjutnya, Fitzsimons melakukan tes kejujuran pada subyek penelitian. Hasilnya, subyek yang secara subliminal terpapar oleh logo Disney menjawab 15% lebih jujur daripada subyek yang terpapar oleh logo E! Cable Network. Fitzsimons beranggapan, hasil penelitian ini dipengaruhi oleh merek Disney yang dipersepsikan sebagai merek yang jujur -oleh banyak warga Amerika- sehingga memotivasi subyek secara tidak sadar untuk jujur.

Meski penelitian Fitzsimons memberikan harapan mengenai efektivitas dari subliminal marketing, penelitian tersebut hanya sanggup mengindikasikan bahwa merek mampu mempengaruhi perilaku konsumen, tapi tidak secara khusus mempengaruhi perilaku pembelian konsumen.

SELERA IKLAN: PENGGUNAAN BAHASA DAN DIALEK
Semakin maraknya dunia periklanan, semakin marak pula persaingan diantara para pengiklan. Maka berlomba-lombalah mereka dalam menciptakan iklan yang menarik. Selera masyarakat tidak luput menjadi pertimbangan penciptaan iklan. Salah satunya adalah unsur pemakaian bahasa.  

Pada era modern seperti sekarang ini iklan sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Bahkan, dewasa ini iklan sudah menjadi sistem komunikasi yang sangat efektif, baik bagi produsen maupun konsumen (Morissan: 2012: 1). Di kota-kota iklan dapat ditemukan di mana-mana. Di jalan-jalan dapat dilihat iklan terpampang di berbagai sudut kota. Ada yang berbentuk baliho dan ada pula berbentuk spanduk atau kain rentang. Ada iklan yang dibuat secara konvensional dan ada pula yang memanfaatkan teknologi modern agar iklan menjadi lebih menarik. Di media massa, baik cetak maupun elektronik, iklan terlihat sangat menonjol. “Hampir setiap hari pikiran kita dibanjiri dan dijejali oleh iklan yang beraneka ragam” (Royded, 2012). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2008), iklan berarti ‘berita pesanan untuk mendorong dan membujuk khalayak agar tertarik pada barang atau jasa yang ditawarkan’. Kata lain iklan dalam bahasa Indonesia adalah reklame. Iklan adalah komunikasi komersial dan nonpersonal tentang sebuah organisasi dan produk-produknya yang ditrasmisikan kepada khalayak melalui media massa (Lee, 2007). Iklan atau dalam bahasa Inggris advertising adalah “bentuk komunikasi yang kompleks yang beroperasi untuk mengejar tujuan dan menggunakan strategi untuk memengaruhi pikiran, perasaan, dan tindakan konsumen (Moriarty, 2011). Ralph S. Alexander dalam Morissan (2010) mendefinisikan iklan adalah, “any paid form of nopersonal communication about an organization, product, service, or idea by an identifiet sponsor.” (‘setiap bentuk komunikasi nonpernal mengenai suatu organisasi, produk, servis, atau ide yang dibayar oleh satu sponsor yang diketahui’). Selanjutnya, dijelaskan bahwa kata dibayar menyiratkan adanya pembelian ruang atau waktu untuk sebuah iklan. Dijelaskan pula bahwa kata nonpersonal mengisyaratkan adanya pelibatan khalayak. Iklan melibatkan media massa seperti koran, majalah, radio, atau televisi.

Karena iklan melibatkan khalayak, dalam pembuatannya harus benar-benar dipertimbangkan respon audiensnya. Semua bahasa memiliki variasi yang disebut ragam bahasa atau speech variety. Ragam bahasa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) register dan (2) dialek Ragam bahasa juga dapat dibedakan menurut penutur dan pemakaiannya (Alwi, 1998). Selanjutnya, dijelaskan bahwa ragam menurut penuturnya dibedakan menjadi dialek, ragam bahasa berdasarkan pendidikan, dan ragam bahasa menurut sikap penuturnya, sedangkan menurut pemakaiannya dibedakan menjadi ragam bahasa menurut pokok persoalan, ragam bahasa menurut sasaran, dan ragam bahasa yang mengalami campuran. Sejalan dengan pembagian persoalannya menurut Alwi, ragam bahasa dibedakan berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu (1) berdasarkan media, penutur, dan pokok persoalannya (dalam Sugono, 1991). Ragam bahasa menurut medianya dapat dibedakan menjadi lisan dan tulis. Berdasarkan penuturnya ragam bahasa dibedakan menjadi dialek, ragam bahasa orang yang berpendidikan, ragam resmi, dan ragam tidak resmi. Selanjutnya, berdasarkan pokok persoalannya, ragam bahasa dapat dibedakan menjadi ragam bahasa ilmu, ragam bahasa hukum, ragam bahasa niaga, ragam bahasa jurnalistik, dan sebagainya. Ragam bahasa iklan merupakan salah satu ragam bahasa yang disebutkan para ahli di atas. Ragam bahasa iklan mempunyai kekhasan sebagaimana ragam bahasa yang lain seperti ragam hukum, ragam ilmu, ragam agama, atau ragam sastra. Ragam bahasa iklan dapat memanfaatkan ragam bahasa akrab agar iklan lebih menarik atau lebih akrab dengan konsumennya.

Dunia iklan adalah dunia kreatif. Secara umum iklan televisi merupakan wacana kreatif (Ridwan, 2012). Di dalamnya terdapat orang-orang kreatif (Morissan). Pembuatan iklan memang harus menguasai tata bahasa, tetapi demi efek yang ditimbulkan sering mengabaikan tata bahasa (Moriarty, 2011).

Di televisi pernah digunakan kata-kata yang tidak baku, tetapi dianggap lebih akrab dengan konsumen, yaitu kata-kata seperti rame, nelpun, hare, dan gene. Kata rame memang bukan kata baku. Yang baku adalah ramai. Tampaknya, pemilihan kata rame dilakukan atas dua pertimbangan, yaitu (1) kata r-a-m-e tidak biasa atau lebih menarik dan (2) kata rame melambangkan bermacam-macam rasa. Lazimnya rasa itu disebut manis, asam, asin, pahit, dan pedas. Namun, rasanya rame untuk sebuah produk permen mengandung pengertian bahwa permen itu mengandung rasa manis, asam, pedas sekurang-kurangnya. Untuk menyatakan bermacam-macam rasa seperti itu dipilih kata rame. Pertimbangan pemilihan kata seperti itu masuk akal dan menarik. Pemilihan kata nilpun, hare, dan gene tampaknya juga dilakukan atas pertimbangan agar menarik atau lebih akrab dengan konsumen. Kalimat Hari begini menelepon masih mahal merupakan pernyataan standar, tetapi terkesan kaku dan tidak menarik. Namun, pernyataan Hare gene nelpon masih mahal lebih menarik dan dekat dengan konsumen karena merupakan bahasa sehari-hari. Hal itu terbukti bahwa ungkapan hare gene pernah menjadi tren berbahasa sehari. Semua itu hasil kreasi dari tim kreatif pembuat iklan. Faktor kemenarikan dalam pembuatan iklan merupakan hal yang sangat penting.

Agar iklan menarik, ada lima hal yang harus diperhatikan (Royded, 2012). Kelima hal itu adalah kalimat/informasi yang mengejutkan, gratis, diskon, termurah, dan garansi. Hal yang terkait dengan tulisan ini adalah hal yang pertama, yaitu kalimat/informasi. Dalam hubungan ini, kalimat dapat diartikan sebagai penggunaan bahasa dalam iklan. Di atas sudah diberikan ilustrasi penggunaan bahasa dalam iklan yang dianggap dapat menarik perhatian konsumen. Selanjutnya, dijelaskan bahwa saat iklan dibuat dengan bahasa yang menarik itu “factor critical terbuka di mana alam bawah sadar siap menerkam segala informasi.” Pada dasarnya daya tarik iklan dapat dibuat dengan berbagai cara. Namun, secara umum daya tarik itu dapat dikelompokkan ke dalam dua hal, yaitu daya tarik informatif/rasional (informational/rational appeal) dan daya tarik emosional (emotional appeal). Daya tarik informatif/rasional berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan konsumen yang bersifat praktis, fungsional, dan kegunaan suatu produk. Daya tarik emosional berkaitan dengan kebutuhan sosial dan psikologi konsumen (Morissan).

STEREOTYPE & GENDER DALAM IKLAN 
Stereotype dan gender menjadi isu yang cukup gencar dalam periklanan kontemporer, salah satunya diangkat karena dampak buruk iklan televisi antara lain disebabkan karena berbagai stereotipe yang diciptakan iklan itu sendiri, yang akan melahirkan semacam peneguhan (reinforcement). Periklanan sebagai sebuah sistem komunikasi massa menjadi parameter atau implementasi wacana gender yang menggugat adanya bias-bias ketidakadilan gender (gender innequalities). Periklanan kini cenderung menjadi sarana legimitasi hegemoni ideologi maupun pelestari dominasi ideology patriarkis. Kecenderungan menggunakan periklanan sebagai contoh bentuk subordinasi perempuan mudah sekali dimunculkan. Hal ini disebabkan periklanan sendiri memang merupakan bentuk komunikasi yang sering memunculkan kode-kode sosial sebagai fragmentasi realitas sosialnya, di mana kode-kode social tersebut sering mengadopsi stereotipe, refleksi budaya, ideologi serta pola gender yang ada di masyarakat. Perempuan dengan berbagai aspek kodratnya selalu diposisikan dalam ruang privat atau domestik. Manakala laki-laki diposisikan dalam ruang publik. Perbedaan posisi semacam ini telah menyebabkan tumbuhnya nilai di masyarakat bahwa kodrat yang berperan dalam ruang awam (public sphere) statusnya adalah sebagai warga negara kelas satu, manakala yang berperanan dalam ruang privat (domestic) berstatus warga negara kelas dua. Ini adalah praktek dari ketidakadilan gender. Stereotipe gender dalam iklan telah lama menjadi topik perdebatan, terutama di kalangan cendekiawan media. Kasus ini menjadi masalah serius, karena bias gender iklan akan mempengaruhi cara berpikir kita tentang peran dan cara berfungsinya gender dalam masyarakat. Masyarakat telah diarahkan untuk beradaptasi dengan seperangkat cita-cita, melalui gambar yang ditimbulkan dari media massa yang mengelilingi kita seolah-olah setting yang idealnya  terepresentasi dari karakteristik yang ditampilkan dalam iklan. Untuk keberhasilan sosialisasi gender dalam meningkatkan partisipasi perempuan dalam pembangunan, kiranya perlu dilakukan sebuah usaha yang menyeluruh agar dapat meminimalisir gambaran keliru tentang peranan perempuan dalam penyiaran iklan di televisi swasta.

Stereotipe Gender dalam Iklan Televisi Swasta Perkembangan iklan menunjukkan bahwa iklan cenderung membangun realitasnya sendiri dengan mengeksploitasi nilai-nilai (bukan hanya sekedar nilai guna) yang dimiliki oleh sebuah produk. Nilai-nilai yang mereka konstruksi tersebut tidak jarang juga mengandung manipulasi keadaan yang sebenarnya, agar memperoleh respon yang kuat dari khlayak. Oleh karena itu makna yang dibentuk dari sebuah produk melalui iklan, bukan hanya sekedar didasarkan pada fungsi dan nilai guna barang, tetapi sudah dimasuki nilai-nilai yang lain, misalnya citra diri indidvidu, gaya hidup sekelompok orang, dan kepuasan. Oleh karena itu, dalam komunikasi periklanan makna yang muncul didasarkan pada permainan simbol-simbol yang semuanya bermuara pada bujuk rayu untuk mengkonsumsi suatu komoditas. Sementara itu relasi-relasi dan budaya konsumen tidak lagi ditopang oleh nilai guna suatu produk atau komoditas, batas antara logika sosial (logika kebutuhan) dan logika hasrat (logika keinginan) menjadi kabur (Suharko, 1998). Iklan merupakan bagian penting dari serangkaian kegiatan mempromosikan produk yang menekankan unsur citra. Dengan demikian obyek iklan tidak sekedar tampil dalam wajah yang utuh, akan tetapi melaui proses pencitraan sehingga citra produk lebih mendominasi bila dibandingkan dengan produk itu sendiri. Pada proses ini cita produk diubah menjadi citra produk. Perjalanan mengubah cita menjadi citra ini adalah persoalan interaksi simbolik di mana obyek iklan dipertontonkan. Fokus perhatian terletak pada makna simbolik konsumen iklan yang ditampilkan dalam iklan itu sendiri, di mana simbol-simbol budaya dan kelas sosial menjadi bagian dominan dalam kehidupan (Bungin, 2001). Stereotipe terhadap perempuan seperti lebih mudah dijelaskan dengan bertitik tolak pada wacana yang menempatkan perempuan pada posisi yang negatif dan tak berdaya. Masyarakat manapun, termasuk Indonesia masih memegang stereotip bahwa laki-laki berada di wilayah kiri (aktif, beradab, rasional, cerdas) sedangkan perempuan di wilayah kanan (pasif, dekat dengan alam, emosional, kurang cerdas). Iklan-iklan yang membuat standar tubuh perempuan ideal membuktikan bagaimana laki-laki (lebih banyak dibagian produksi iklan) menciptakan perempuan untuk sesuai dengan fantasi mereka tentang “perempuan sexy atau cantik”. Model-model perempuan adalah obyek yang dikreasi untuk mencapai fantasi tersebut, sedangkan laki-laki adalah penciptanya. Tidak hanya iklan, stereotip ini menempatkan perempuan pada posisi yang dirugikan. Melalui citra-citra atau image-image yang diciptakannya, iklan diharapkan mampu mengubah perilaku seseorang, menciptakan permintaan konsumen dan juga mampu membujuk orang agar berpartisipasi.

dalam kegiatan konsumsi, yang pada akhirnya mereproduksi masyarakat konsumen (Ratna Noviani, 2002: 14). Sedangkan sebuah studi tentang perempuan dalam iklan majalah memberikan rumusan tentang konsep citra perempuan yang muncul dalam iklan. Konsep tersebut adalah: citra pigura, citra pilar, citra peraduan, citra pinggan, dan citra pergaulan (Tomagola, 1998). Banyak orang mengagumi kecantikan perempuan sebagai” barang seni’ terindah di dunia. Keindahan perempuan menjadi stereotipe perempuan dan membawa mereke ke sifat-sifat di sekitar keindahan itu, seperti perempuan harus tampil menawan, pandai mengurus rumah tangga, memasak, tampil prima untuk menyenangkan suami dan pantas untuk diajak ke berbagai acara, cerdas serta menjadi sumber pengetahuan dan moral keluarga. Stereotipe ini kemudian menjadi ide dan citra berbagai iklan sekaligus menjadi sumber protes terhadap iklan-iklan yang dianggap” melecehkan” citra itu. Sebenarnya dominasi perempuan dalam iklan tidak sekedar karena stereotipe di atas, namun juga karena pada umumnya pemirsa iklan televisi adalah perempuan dan barangbarang yang diiklankankan juga adalah barang-barang di sekitar perempuan atau yang berhubungan dengan perempuan.

1 Komentar untuk "Isu-isu Advertising Modern"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel