KARAKTERISTIK MANUSIA KOMUNIKAN
Jumat, 19 Juni 2020
Tambah Komentar
Artikel ini akan membicarakan konsepsi psikologi tentang manusia, suatu landasan
teoritis untuk studi-studi psikologi komunikasi selanjutnya. Segera setelah itu, bab ini akan
membicarakan faktor-faktor personal dan situasional yang mempengaruhi perilaku manusia.
KONSEPSI PSIKOLOGI TENTANG MANUSIA |
KONSEPSI PSIKOLOGI TENTANG MANUSIA
Banyak teori dalam ilmu komunikasi dilatarbelakangi konsepsi-konsepsi psikologi
tentang manusia. Teori-teori persuasi sudah lama menggunakan konsepsi psikoanalisis
yang melukiskan manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh keinginan-keinginan
terpendam (Homo Volens). Teori “jarum hipodermik” (yang menyatakan media massa
sangat berpengaruh dilandasi konsepsi behaviorisme yang memandang manusia sebagai
makhluk yang digerakkan semaunya oleh lingkungan (Homo Mechanicus). Teori
pengolahan informasi jelas dibentuk oleh konsepsi psikologi kognitif yang melihat manusia sebagai makhluk yang aktif mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang diterimanya
(Homo Sapiens). Teori-teori komunikasi interpersonal banyak dipengaruhi konsepsi
psikologi humanistis yang menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam
merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya (Homo Ludens).
Konsepsi Manusia dalam Psikoanalisis
Menurut Simund Freud, pendiri psikoanalisis, perilaku manusia merupakan hasil interaksi
tiga sub sistem dalam kepribadian manusia Id, Ego, dan Superego. Id adalah bagian
kepribadian yang menyimpan dorongan-dorngan biologis manusia, pusat instink (hawa
nafsu – dalam kamus agama). Ada dua instink dominan: [1] Libido – instink reproduktif yang
menyediakan energi dasar untuk kegiatan-kegiatan manusia yang konstruktif; [2] Thanatos –
instink destruktif dan agresif. Yang pertama disebut juga instink kehidupan (eros), yang
dalam konsep Freud bukan hanya meliputi dorongan seksual, tetapi juga hal yang
mendatangkan kenikmatan termasuk kasih ibu, pemujaan pada Tuhan, dan cinta diri
(narcisism). Bila yang pertama adalah instink kehidupan, yang kedua meruapkan instink
kematian. Semua motif manusia adalah gabungan antara eros dan thanatos. Id bergerak
berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle), ingin segera memenuhi
kebutuhannya. Id. Bersifat egoistis, tidak bermoral dan tidak mau tahu dengan kenyataan. Id
adalah tabiat hewani manusia.
Walaupun Id mampu melahirkan keinginan, ia tidak mampu memuaskan keinginannya.
Subsistem yang kedua – ego – berfungsi menjembatani tuntutan Id dengan realitas di dunia
luar. Ego adalah mediator antara hasrat-hasrat hewani dengan tuntuatan rasional rasional
dan realistik. Ego – lah yang menyebabkan manusia mampu menundukkan hasrat
hewaninya dan hidup sebagai wujud yang rasional (pada pribadi yang normal). Ia bergerak
berdasarkan prinsip realitas (reality principle). Ketika Id mendesak supaya Anda membalas
ejekan dengan ejekan lagi, ego memperingatkan Anda bahwa lawan Anda adalah “bos”
yang dapat memecat Anda. Kalau Anda mengikuti desakan Id, Anda Konyol. Anda pun baru
ingat bahwa tidak baik melawan atasan (lebih-lebih pada Hubungan Industrial Pancasila).
Unsur moral dalam pertimbangan terakhir disebut Freud sebagai superego. Superego
adalah polisi kepribadian, meawakili yang ideal. Super ego adalah hati nurani (conscience)
yang meruapakan internalisasi dari norma-norma sosial dan kultural masyarakatnya. Ia
memaksa ego untuk menekan hasrat-hasarat yang tak berlainan ke alam bawah sadar. Baik
Id maupun superego berada dalam bawah sadar manusia. Ego berada di tengah, antara
memenuhi desakan Id dan peraturan superego. Untuk mengatasi ketegangan, ia dapat
menyerah pada tuntunan Id, tetapi berarti dihukum superego dengan perasaan bersalah.
Untuk menghindari ketegangan, konflik, atau frustasi ego secara tak sadar lalu
menggunakan mekanisme pertahanan ego, dengan mendistorsi realitas. Secara singkat,
dalam psikoanalisis perilaku manusia merupakan interaksi antara komponen biologis (Id),
komponen psikologis (ego), dan komponen sosial (superego); atau unsur animal, rasional,
dan moral (hewani, akali, dan nilai).
Konsepsi Manusia dalam Behaviorisme
Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (yang menganalisa jiw
amanusia berdasarkan laporan-laporan subyektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara
tentang alam bawah sadar yang tidak nampak). Behaviorisme ingin menganalisa hanya
perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Belakangan,
teori kaum behavioris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena menurut mereka
seluruh perilaku manusia – kecuali instink adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan
perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan
apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin
mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan. Dari sinilah
timbul konsep “manuisa mesin” (Homo Mechanicus).
Aristoteles berpendapat bahwa pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa,
sebuah meja lilin (tabula rasa) yang siap dilukis oleh pengalaman. Dari Aristoteles, john
Locke (1632-1704). Menurut kaum empiris, pada waktu lahir manusia tidak mempunyai
“warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah satu-satunya jalan
ke pemilikan pengetahuan. Bukankah idea yang menghasilkan pengetahuan, tetapi
keduanya adalah produk pengalaman. Secara psikologis, ini berarti seluruh perilaku
manusia, kepribadian, dan temperamen ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory
experience). Pikiran dan perasaan, bukan penyebab perilaku tetapi disebabkan oleh perilaku
masa lalu.
Skinner melakukan sebuah penelitian, ia menyebutnya operant conditioning. Subyeknya
seekor burung merpati. Skinner menyimpannya pada sebuah kotak (yang dapat diamati).
Merpati disuruh bergerak sekehendaknya. Satu saat kakinya menyentuh tombol kecil pada
dinding kotak. Makanan keluar dan merpati bahagia. Mula-mula merpati itu tidak tahu
hubungan antara tombol kecil pada dinding dengan datangnya makanan. Sejenak
kemudian, merpati tidak sengaja menyentuh tombol, dan makanan turun lagi. Sekarang, bila
merpati ingin makan ia mendekati dinding dan menyentuh tombol. Sikap manusia seperti itu
pula. Bila setiap anak menyebut kata yang sopan, segera kita memujinya, anak itu kelak
akan mencintai kata-kata sopan dalam komunikasinya. Bila pada waktu mahasiswa membuat prestasi yang baik kita menghargainya dengan sebuah buku yang bagus,
mahasiswa meningkatkan prestasinya. Proses memperteguh respons yang baru dengan
mengasosiasikannya pada stimuli tertentu berkali-kali, disebut peneguhan (reinforcement).
Pujian dan buku dalam contoh tadi disebut peneguh (reinforcer).
Konsepsi Manusia dalam Psikologi Kognitif
Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungan,
tetapi sebagai makhluk yang selalu berusaha memahami lingkungannya: makhluk yang
selalu berpikir (Homo Sapiens).
Para psikolog Gestalt, seperti juga kebnayakan psikoanalis. Menurut mereka, manusia tidak
memberikan respons kepada stimuli secara otomatis. Manusia adalah organisme aktif yang
menafsirkan dan bahkan mendistorsi lingkungan. Sebelum memberikan respons, manusia
menangkap dulu “pola” stimuli secara keseluruhan dalam satuan-satuan yang bermakna.
Manusialah yang menentukan makna stimuli itu, bukan stimuli itu sendiri. Di kalangan ilmu
komunikasi terkenal proposisi “Words don’t mean, people mean” – kata-kata tidak
bermakna, oranglah yang memberi makna. Bunyi “wi” berarti “kita” menurut orang Inggris,
“siapa” menurut Belanda, “bagaimana” menurut Jerman, “duhai” menurut Arab, atau hanya
sekadar penggilan sayang bagi gadis Sunda bernama Wiwi.
Menurut Lewin, perilaku manusia harus dilihat dalam konteksnya. Dari fisika, Lewin
meminjam konsep medan (field) untuk menunjukkan totalitas gaya yang mempengaruhi
seseorang pada saat tertentu. Perilaku manusia bukan sekadar respons pada stimuli, tetapi
produk berbagai gaya yang mempengaruhinya secara spontan. Lewin menyebut seluruh
gaya psikologis yang mempengaruhi manusia sebagai ruang hayat (life space). Ruang hayat
terdiri dari tujuan dan kebutuhan individu, semua faktor yang disadarinya, dan kesadaran
diri. Dari Lewin terkenal rumus: B = f (P,E), artinya Behavior (perilaku) adalah hasil interaksi
antara person (diri orang itu) dengan environment (lingkungan psikologisnya).
Manusia dalam Konsepsi Psikologi Humanistik
Psikologi humanistik dianggap sebagai revolusi ketiga dalam psikologi. Revolusi pertama
dan kedua adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Pada behaviorisme manusia mesin yang
dibentuk lingkungan, pada psikoanalisis manusia melulu dipengaruhi oleh naluri primitifnya.
Dalam pandangan behaviorisme manusia menjadi robot tanpa jiwa, tanpa nilai. Dalam
psikoanalisis, seperti kata Freud sendiri, “we see a man as a savage beast” (1930:86).
Keduanya tidak menghormati manusia sebagai manusia . keduanya tidak dapat
menjelaskan aspek eksistensi manusia yang positif dan menentukan, seperti cinta, kreativitas, nilai, makna, dan pertumbuhan pribadi. Inilah yang diisi oleh psikologi
humanistik. “Humanistic psychology is not just the study of ‘human being’; it is a commitment
to human becoming,” tulis Floyd W. Matson (1973:19) yang agak sukar diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia.
Psikologi humanistik mengambil banyak dari psikoanalisis Neo Freudian (sebenarnya Anti –
Freudian); tetapi lebih banyak lagi mengambil dari fenomenologi dan eksistensialisme.
Fenomenologi memandang manusia hidup dalam “dunia kehidupan” yang dipersepsi dan
diinterpretasi secara subyektif. Setiap orang mengalami dunia dengan caranya sendiri.
“Alam pengalaman setiap orang berbeda dari alam pengalaman orang lain.” (Brouwer,
1983:14).
Menurut Alfred Schutz, tokoh sosiologi fenomenologis, pengalaman subjektif ini
dikomunikasikan oleh faktor sosial dalam proses intersubjektivitas. “untuk memahami makna
subjektif Anda, aku harus menggambarkan arus kesadaran Anda mengalir berdampingan
dengan arus kesadaranku. Dalam gambaran inilah, aku harus menafsirkan dan emmbentuk
tindakan intensional Anda ketika Anda memilih kata-kata Anda.”
Belum ada Komentar untuk "KARAKTERISTIK MANUSIA KOMUNIKAN"
Posting Komentar